Subscribe

RSS Feed (xml)



Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selasa, 05 Oktober 2010

SELINGAN : Sisi Kelam Kebudayaan Jepang Part I

selain belajar bahasa ada baiknya kita juga belajar budaya Orang Jepang, kali ini sia postkan sisi kelam biyar kita bisa ambil pelajarn. mudah2n kita tidak merasa benci dengan Jepang setelah mengetahui ini justru kita harusnya semakin suka dan tertantang

GEISHA, KYABAKURA-JO, HOSUTO DAN SISI KELAM MASYARAKAT
JEPANG

Dalam sejarah perang dunia, ada satu sisi kelam yang hingga saat ini terus menerus mendapat sorotan dari banyak kalangan. Yakni masalah 'Jugun Ianfu'. Istilah ini ditujukan untuk para wanita di negara jajahan yang melayani tentara Jepang dalam pemenuhan kebutuhan seks mereka. Keberadaan para wanita tersebut tidak hanya ada di
negara kita-Indonesia saja, tetapi juga di negara Asia lain seperti Korea, China, Malaysia dan lainnya. Perjuangan para wanita-wanita ini masih berada di pertengahan jalan dalam meraih keadilan, padahal usia terus menggerogoti mereka. Tak sedikit hingga hayat di
kandung badan lepas, para wanita ini harus membawa kenangan pahit itu hingga ke liang kubur. Masih banyak dari kalangan mereka sendiri atau keturunan mereka yang terus menuntut Pemerintah Jepang untuk mengakui kebejatan moral para mantan tentara
perangnya. Tuntutan para wanita ini sudah dijawab oleh Pemerintah Jepang dalam bentuk uang kompensasi, sebagai pengganti 'terengutnya masa muda yang indah dengan cara paksa, juga sebagai upaya penyembuhan luka masa lalu'. Tapi sayangnya, hal penting yang seharusnya diakui sebagai rasa malu telah memperlakukan wanita yang dimata Allah swt diletakkan di tempat yang agung, tidak juga keluar dari seluruh mulut para mantan tentara Jepang yang masih hidup hingga saat ini. Mungkin para wanita itu menjerit: kalau perlu para mantan tentara Jepang ini sebaiknya melakukan 'harakiri'(robek perut) sebagai upaya intropeksi diri. Ternyata tidak semua laki-laki Jepang berjiwa 'Bushi' seperti yang bisa kita lihat di film 'Samurai'.
Kata 'geisha' itu bermakna 'orang yang bisa berkesenian' . Jadi geisha itu adalah seorang wanita yang bisa menari dan memainkan alat musik tradisional Jepang. Bukan pelayan seks seperti yang orang-orang bayangkan selama ini. Selain kata 'geisha' juga ada kata 'maiko' dan 'geiko'. Semua kata-kata ini adalah sebuah profesi. 'Maiko' adalah 'wanita muda yang bisa menari', sedangkan geiko adalah senior daripada maiko, yang tidak hanya bisa menari tapi juga memainkan alat musik. Sedangkan geisha adalah
senior daripada keduanya. Senior dalam artian pengalaman dan umur. Untuk menjadi seperti mereka ini harus melalui sebuah sekolah khusus, sekolah kejuruan. Jadi bukan tiba-tiba jadi.
Salah satu kota yang paling mencolok di Jepang yang ada hubungannya dengan geisha adalah Kyoto. Merupakan sebuah kota yang kental dengan adat istiadat Jepang masa lalu. Di kota ini ada kurang lebih 1000 buah kuil. Dari yang ukurannya kecil hingga yang sangat besar dan seluas pusat perbelanjaan. Dalam 1 tahun dengan pergantian 4 musim selalu diwarnai dengan berbagai macam festival. Lewat berbagai festival itu, Pemda Kyoto bisa menarik keuntungan uang yang tidak sedikit. Tidak hanya itu kebaikan yang bisa diambil oleh Pemda Kyoto, tapi juga nama kota itu bisa dikenal di seluruh dunia. Menjadi obyek wisata yang diminati wisatawan dalam negeri dan juga luar negeri.
Kota Kyoto ini pernah menjadi ibukota darurat pengganti Tokyo.
Kyoto memiliki dua wajah yaitu wajah kehidupan masa lalu yang terus dipertahankan,
dan kehidupan modern yang terus berkembang. Di pusat kota, ada sebuah sungai besar yang panjang membelah kota hingga tersambung dengan kota Osaka. Dikenal dengan sebutan 'Kamogawa' atau 'Sungai Bebek'. Bila menelusuri sungai ini hingga ke pusat kota, maka kita bisa menemui kehidupan masa lalu yang dipertahankan itu. Pusat kota ini dikenal dengan sebutan Kawaramachi Dori. Di sekitarnya ada wilayah bernama Pontocho. Di wilayah ini berderet rumah makan yang kental dengan nuansa Jepang. Mulai dari bentuk bangunannya, jenis masakannya, bahasa yang dipergunakan, tata krama pelayanannya, semuanya. Ada prestise tersendiri bila menjadi tamu di wilayah Pontocho ini. Di wilayah Pontocho ini pun ada 'Desa Geisha' (hanya sebuah istilah yang digunakan karena memang di wilayah ini bisa kita temui lokasi tempat tinggal wanita-wanita berprofesi Geisha).
Restoran Jepang, Desa Geisha, menjadi obyek wisata di kota ini. Bila ada kesempatan dan tentunya uang, anda bisa mencoba memakai baju seperti Geisha dan
berjalan-jalan di sekitar kuil sambil berfoto. Sebuah paket wisata yang lengkap dan menyisakan kenangan indah tentunya. Adapula dunia hiburan malam bergaya modern. Bar atau 'snack' yang lengkap dengan wanita-wanita muda penghibur. Kemudian ada juga laki-laki berpakaian jas rapi, berdiri di masing-masing bar tempat mereka bekerja sebagai penarik tamu. Para laki-laki ini berdiri di depan pintu masuk setiap bar, sambil tersenyum ramah kepada para pejalan kaki yang lewat di depan wilayah mereka. Mereka akan berusaha berkali-kali menghadang pejalan kaki sambil merayu untuk mampir ke bar mereka. Bar atau 'snack' yang dimaksudkan disini hanya diwakili sebuah pintu saja. Tidak bisa diintip dari luar. Jadi, promosi tentang wanita-wanita penghibur di
dalamnya tidak bisa diketahui dengan jelas, kecuali kalau kita masuk ke dalamnya. Selain
rayuan para lelaki yang berdiri berjam-jam di luar bar, ada juga bar yang meletakkan Kehidupan malam di Jepang secara umum tidak hanya terbatas di kota Kyoto saja. Tapi hampir ada di seluruh kota dan desa di Jepang. Ada istilah 'Kyabakura-Jo' bagi wanita-wanita muda penghibur di bar atau 'snack', dan 'Hosuto' bagi laki-laki muda
penghibur. Di setiap bar, ada tokoh 'mama', yakni seorang wanita cantik separuh baya yang menjadi manajer bahkan pemilik bar. Sejak ratusan tahun yang lalu, di Jepang dikenal profesi wanita penghibur yang disebut 'Oiran'. Hiburan yang disajikan bukan tari dan gerak, tapi sebagai pemuas nafsu seks lawan jenisnya. Kemudian hal ini berkembang ke abad 20, dan muncullah istilah-istilah lebih modern dan menjadi sebuah profesi yang diminati habis-habisan oleh wanita-wanita muda Jepang. Yang aku
maksudkan adalah sebutan 'Kyabakura-Jo'. Berprofesi sebagai Kyabakura-Jo berarti akan menghasilkan uang yang banyak. Dalam usia 20-30 tahunan, sudah bisa menjadi mesin uang untuk diri sendiri. Bisa membeli apa pun yang diingini. Tidak sedikit mereka mendapatkan hadiah dari para tamu berupa barang-barang kecil berupa baju, tas, jam tangan yang bermerk mahal hingga benda besar seperti bangunan apartemen, mobil dan lain sebagainya. Bahkan ada juga tamu yang menyelipkan uang 10 ribu yen di setiap halaman buku setebal 200 halaman, sebagai hadiah atas layanan yang telah diterimanya dari sang gadis penghibur. Profesi sebagai gadis penghibur di zaman modern ini tidak lagi menuntut kecantikan dan kemolekan tubuh, walaupun tetap menjadi hal penting. Tetapi yang dituntut dari seorang Kyabakura-Jo adalah kecerdasan, memiliki pengetahuan luas seperti halnya penyiar tv atau mungkin reporter koran dan majalah. Harus bisa menjadi 'kamus ilmu pengetahuan umum' yang bisa meladeni pembicaraan setiap tamu yang ingin berkeluh kesah tentang dunia bisnis, dunia kedokteran,dunia
musik, atau apa saja. Bahkan di bar-bar berkelas tinggi, para Kyabakura-Jo memiliki kemampuan berbahasa asing. Seorang Kyabakura-Jo yang memiliki kemampuan lengkap seperti itu akan mampu bertahan sebagai 'Number One', dan ini ada kaitannya dengan keuntungan pribadi dan bar tempat ia bekerja. Seorang Kyabakura-Jo kelas atas mampu membeli sebuah mobil Jaguar terbaru hanya dalam hitungan gaji dan bonus minimal 1-3 bulan. Tapi seorang Kyabakura-Jo yang tidak mampu bersaing, harus menerima kenyataan pahit, yakni dipecat dari pekerjaannya.

====================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My Blog List

Powered By Blogger

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "